Selasa, 26 April 2011

mungkin ini tips buat pernikahan yg awet


Mempertahankan perkawinan agar awet, memang bukan hal mudah. Soalnya, perkawinan selalu berawal dari kondisi dua orang yang tak saling mengenal satu sama lain.

Jikapun mereka memulainya dengan proses pacaran, lanjut psikolog yang mukim di Surabaya ini, "tetap saja amat terbatas, karena mereka berdua tak terus-menerus bertemu selama 24 jam. Hingga kebiasaan-kebiasaan atau sifat-sifat dasar dan cara hidup sehari-hari mereka tak dikenali secara mendalam oleh calon pasangannya." Bahkan, ada kecenderungan masing-masing pihak untuk menutupi kebiasaan atau sifat jelek yang dirasa bakal mengganggu atau menghambat hubungan mereka.
Tak heran, begitu memasuki kehidupan perkawinan, semua sifat dan kebiasaan jelek tadi jelas terlihat, hingga muncullah friksi di antara mereka. Bisa dibayangkan, kan, bila dua orang dewasa yang berbeda kepentingan, latar belakang, gaya/kebiasaan hidup, persepsi, maupun kehidupan emosionalnya, tiba-tiba harus hidup serumah dari waktu ke waktu. Bukan tak mungkin friksi-friksi tersebut akan berlanjut atau memuncak jadi penyebab hancurnya perkawinan. Hingga, perkawinan yang diharapkan bakal awet malah sudah keburu kandas di awal perjalanan.

MENJALIN KOMUNIKASI

Sebetulnya, kuncinya cuma komunikasi, kok! Tentu saja, komunikasi yang baik/sehat. Maksudnya, ada keterbukaan. Dengan begitu, masing-masing bisa saling menerima apa yang dikatakan, dirasakan, dan dipikirkan pasangannya.

Apalagi, perkawinan biasanya dimulai dengan kondisi tak punya apa-apa yang kemudian berkembang seiring berjalannya waktu. Misal, keadaan ekonomi yang makin membaik, sementara status sosial juga meningkat. Perubahan ini biasanya membuat gaya hidup pun berubah, demikian pula cara memandang persoalan. "Nah, bila tak terkomunikasikan dengan baik, perubahan-perubahan tersebut pasti akan memunculkan distorsi atau penyimpangan dalam perkawinan,

Dalam teori komunikasi, terangnya, ada 3 cara berkomunikasi, yaitu komunikasi verbal atau bicara secara langsung, tulisan, dan gerakan. "Kita bisa saja memahami orang tak melalui pembicaraan, tapi dari bahasa tubuhnya, air mukanya, dan bagaimana caranya berdiri atau berjalan. Dari situ kita bisa tahu atau minimal bisa menebak apa, sih, yang sedang dirasakan pasangan." Pada pasangan yang sama-sama pendiam, misal, "perkawinan mereka bisa tetap langgeng, kok, karena lewat bahasa tubuhnya, mereka bisa menjalin komunikasi dengan baik, hingga bisa saling memahami."

Pasalnya, prinsip keberhasilan komunikasi antara dua orang dengan latar belakang berbeda adalah mengupayakan satu garis tujuan. Dengan begitu, baik suami maupun istri berusaha saling menghargai, menerima dan berempati terhadap pasangan. "Bila ini telah dilakukan, berarti komunikasi yang baik di antara mereka telah terjalin. Dalam perjalanan selanjutnya pun, syarat untuk menjadikan perkawinan awet, bisa terpenuhi. Sebabnya, sikap saling bisa menerima inilah yang sebetulnya bisa dibilang cikal bakal sebuah perkawinan awet," tutur alumnus Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung ini.

TAK MENYESALI DIRI

Jadi, keterbukaan memungkinkan masing-masing memiliki kemampuan untuk memahami sekaligus menerima pasangan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukankah kemampuan memahami merupakan modal dasar agar bisa berpikir netral? Artinya, bila salah satu, semisal istri tak suka pada kebiasaan si suami berbusana tak rapi, ia bisa mengutarakannya langsung dengan mengatakan, "Mas, aku enggak suka kalau Mas pake baju berantakan begitu." Sementara si suami tak lantas nyahut atau marah begitu saja mendengar komentar istrinya. Boleh jadi ia malah berterima kasih diingatkan, tapi tetap punya kesempatan untuk mengemukakan alasan kenapa ia berkebiasaan seperti itu. Atau malah dengan sukarela ia bersedia mengubah kebiasaan jeleknya.

Kesediaan menjalin komunikasi secara sehat ini juga membuat suami-istri tak pernah menyesali diri. Minimal, mereka takkan berpikir, "Lo, kok, dia begitu, sih?" Atau, "Ternyata aku menikah dengan orang aneh yang tak bisa kumengerti sama sekali." Yang ada justru kesadaran, "Saya bukan kamu" dan "Kamu bukan saya", serta beragam perbedaan lain di antara mereka berdua.

Bukan itu saja, mereka pun memiliki kesadaran sebagai pasangan yang telah menikah. Artinya, mereka telah berjanji di hadapan Tuhan untuk mengikatkan diri dalam sebuah lembaga perkawinan. Dengan demikian, mereka sudah diikat oleh sebuah tekad luhur untuk sama-sama membangun rumah tangga yang baik sesuai cita-cita. Menurut Astrid, bila komunikasi terjalin baik dan kedua belah pihak memiliki kesepakatan atau tekad luhur semacam itu, meski sudah berumur 50 tahun pun, perkawinan mereka akan awet.

CINTA BUKAN JAMINAN

Tentu saja cinta juga perlu. Bukankah cinta membuat hidup dan perkawinan jadi indah? Tak ubahnya seperti dalam sinetron atau telenovela. Sebabnya, seperti disebut dalam berbagai teori mengenai cinta, dua orang yang saling mencintai biasanya saling menaruh sabar, saling memahami dan menerima kekurangan pasangan, selain berusaha memberikan yang terbaik buat pasangannya. Itu sebab, idealnya perkawinan memang terjadi antara dua orang yang saling mencintai.

Kendati begitu, tak berarti mereka yang menikah tanpa cinta tak berpeluang memperoleh kebahagiaan, lo. Bukankah tak sedikit pasangan yang menikah tanpa disertai rasa cinta tapi, toh, mereka tetap memiliki rasa tanggung jawab dan komitmen, hingga tetap bisa terus bertahan? Pasalnya, mereka mau saling komunikasi, hingga jadi lebih saling mengenal.

contohnya pasangan yang siap menikah dari segi usia, kemapanan ekonomi dan kematangan berpikir. "Boleh jadi mereka sebenarnya tak saling mencintai, tapi keduanya saling membutuhkan. Si wanita beranggapan bisa jadi ibu yang baik dan si pria bisa jadi ayah yang baik. Mereka punya kesamaan cara berpikir untuk membentuk perkawinan yang dilandasi komitmen, saling menghargai dan komunikasi yang baik."

Contoh lain, wanita yang menikahi pria kaya tapi wajahnya tak begitu tampan dan tak dicintai pula, hanya agar ia bisa hidup enak. Hal seperti ini, bilang direktur Locita Mandayaguna, biro konsultasi dan pengembangan SDM ini, "sah-sah saja, kok. Asalkan dalam perjalan perkawinan mereka, si istri betul-betul menyadari tugasnya sekaligus berusaha menjadi istri dan ibu yang baik." Begitu juga mereka yang menikah hanya dengan pemikiran agar martabat keluarganya terangkat atau lantaran butuh biaya besar untuk berobat orang tuanya yang sakit serius.

Jadi, meski kita menikah demi berbagai kepentingan tadi, tak masalah, kok, sepanjang bisa konsisten dengan pilihan itu. Disamping, mencoba masuk mendalami perannya, hingga pelan-pelan akan tumbuh penghargaan, tanggung jawab, bahkan mungkin cinta. Sementara tujuan awal yang dicanangkan semula, toh, bisa jadi rahasia pribadinya seumur hidup.

Sebaliknya, cinta yang menggebu-gebu pun bukan jaminan. Sebab, bila komunikasi di antara suami istri macet, perkawinan pun umumnya tak mampu bertahan lama. "Lo, cinta itu sendiri, kan, ada umurnya. Paling cuma berumur dua tahun, setelah itu menurun. Nah, bila komunikasi tak terjalin baik, sementara cinta sudah mencapai titik terendah, bisa ditebak bila di antara mereka yang ada cuma konflik melulu."

KEMATANGAN JIWA

Dalam bahasa lain, cinta saja belum cukup bila tak disertai kematangan jiwa. Soalnya, kematangan jiwa inilah yang memungkinkan kita mampu menerima, terutama kekurangan pasangan. Disamping, mampu melihat berbagai persoalan dengan jernih tanpa luapan emosi, seperti meredam sesuatu yang memungkinkan munculnya konflik. Dalam bahasa lain, kita mampu bersikap bijaksana.

Misal, melihat suami datang dengan muka cemberut. "Istri yang punya kematangan jiwa takkan ikut-ikutan cemberut, tapi malah mengajaknya ngobrol tentang hal yang ringan-ringan atau mengajaknya nonton TV bersama, apalagi jika ada tayangan kesukaannya." Tentu saja tanpa menyinggung hal yang membuat si suami cemberut. Bila keadaan sudah memungkinkan dan dirasa perlu, bolehlah kita mengorek mengapa ia pulang dengan muka cemberut. "Biasanya jika sudah merasa agak lega, suami akan bercerita dengan sendirinya, kok."

Intinya, kita harus betul-betul mengerti kapan harus ngomong pada pasangan, kapan mesti bersikap diam, dan kapan pula sebaiknya bersikap pura-pura tak tahu. Tentu saja hal ini harus diupayakan oleh kedua belah pihak.

ORANG PERTAMA

Hal lain yang perlu disadari, kita harus menempatkan kepentingan pasangan di prioritas utama. Dengan begitu, siapa pun selain pasangan, pada hakekatnya merupakan bagian di luar kebersamaan/perkawinan. Jadi, kita harus menghargai pasangan melebihi penghargaan yang kita berikan pada orang lain, sekalipun orang lain itu adalah mertua atau orang tua. Hingga sekalipun ada persoalan apa saja, sebaiknya pasanganlah yang kita jadikan orang pertama untuk diajak bicara.

Salah besar pula bila kita lebih mendengarkan/mempercayai omongan pihak luar ketimbang omongan pasangan. Jikapun orang tua kita menilai pasangan enggak benar, kita tak dibenarkan ikut-ikutan menilai pasangan dari kacamata beliau. Soalnya, "ini, kan, sebetulnya masalah komitmen dan komunikasi dalam perkawinan." Begitu juga bila kakak/adik dari pihak kita yang meminta sesuatu, sebaiknya bicarakan dulu dengan pasangan. Jika ia tak setuju, kita pun harus sepakat untuk berani bilang, "Tidak!"

Namun jangan sampai salah satu pihak merasa tertekan, karena perkawinan milik bersama. Hingga, semua beban dan masalah yang ada dalam perkawinan menjadi urusan dan tanggung jawab bersama, dari masalah ekonomi, anak dan pekerjaan maupun kehidupan sosial, sampai urusan seksual.

Nah, Bu-Pak, kini makin paham, kan, gimana caranya membikin perkawinan langgeng? Ingat, lo, memutuskan menikah berarti sudah mengantar kita sampai pada pilihan terakhir. Artinya, kitalah yang harus menghargai pilihan itu sampai kapan pun, bahkan till death do us part .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Dear Diary Blogger Template