Senin, 02 Mei 2011

Cinta di Ujung Senapan,,,

Cinta bagiku bagai kabut yg datan hanya untuk pergi, atau bagai pelangi yg hanya indah untuk dilihat tapi tidak untuk dirasakan. Ketika cinta datang menyapa, bergegas kusembunyikan dalam hati sanubari atau dalam diaryku. Aku hanya bisa memadu cinta dalam hati atau bercengkrama dalam puisi dan diary. Tidak lebih. Bagiku cinta ibarat buah simalakama diujung senapan, jika diambil, hatiku terluka. Jika tidak, senapan itu akan meledak dan melukai hati ayahku.
Aku seorang wanita yg harus menerima cinta titipan. Apa yg diputuskan ayah dan menurutnya baik, maka aku harus ikut berkata baik. Jika tidak maka aku juga harus berkata tidak. Cinta hanya boleh diputuskan oleh ayahku, sementara aku tidak memiliki otoritas untuk menentukan kata cinta. Mengapa? Silafku dimasa lalu membuatku terlalu khidmat pada ayahku dan dibalik itu juga sebenarnya aku takut karena ayahku terkenal dengan sikapnya yg keras dan tegas. Jika aku berani mengungkapkan cintaku terhadap seseorang, aku takut cintaku ditolak ayahku. Sejujurnya aku sangat berharap pada seseorang. Menurut hatiku dia baik dan memenuhi standar sebagai seorang lelaki. Selama ini aku butuh perlindungan, aku rasakan dia melindungiku. Saat aku butuh nasehat, dia dengan tulus memberikan nasehat, saat aku menangis, dia mampu membuatku tertawa lepas. Komunikasi kami hanya lewat telepon dan dunia maya, itupun aku lakukan dengan diam-diam, aku takut ketahuan ayah. Saat dia bilang ingin bicara dengan ibuku, beribu kebohongan aku ucapkan dengan lancar supaya niatnya bicara dengan ibu urung kembali. Akhirnya aku hanya bisa pasrah karena diam-diam ayahku sudah memiliki banyak calon yg akan dipilihnya untukku. Saat seorang lelaki dihadirkan kehadapanku, maka aku harus berusaha mencintainya. Aku pun harus rela membangun "cinta" dari awal. Lambat laun "cinta" itu tumbuh karena aku selalu memandang bahwa bahagia ayahku adalah bahagiaku juga. Tapi, deritaku tidak sampai disini. Saat aku mulai "mencintai" laki-laki itu, ayahku memaksaku untuk mengganti laki-laki tadi dengan laki-laki lain yg menurutnya lebih dari yg dulu. Sebagaimana biasa aku pun harus melupakan laki-laki yg dulu dan mulai membangun "cinta" dari awal dengan laki-laki baru. Walaupun aku tahu, cinta karena keterpaksaan akan selalu menyakitiku dengan buasnya. Seperti sebuah sandiwara, aku dikendalikan oleh sutradara. Atau seperti wayang, aku dikendalikan oleh sang dalang yg tak lain adalah ayahku. Ayahku bebas mempermainkan perasaanku karena aku ibarat wayang atau pemain sinetron yg wajib dikendalikan sesuka hatinya. Targetnya agar penonton (kerabat dekat orangtua) termasuk mereka sendiri merasa senang atau merasa lebih terhormat. Aku sebagai wayang tidak boleh membantah apalagi memiliki keinginan, aku harus menerima tanpa syarat. Intinya aku menjadi tumbal sebuah ambisi yg tersembunyi. Aku hanya berpikir positif saja, mungkin maksud ayah berbuat demikian agar aku bahagia (tentu saja bahagia dalam ukurannya bukan ukuranku). Dulu aku beruntung karena sebagai anak lebih mengedepankan khidmat dan rasa hormat pada ayahku, tidak banyak membantah dan nurut saja apa yg ayah inginkan. Begitu juga aku beruntung karena sering berpikir positif. Apa yg menimpaku, aku lihat sisi positifnya agar aku selalu bersyukur. Aku berpikir, mungkin inilah hukuman atas silaf masa laluku dan mungkin inilah diantara bentuk balas budi terhadap ayahku yaitu dengan menyenangkannya. Aku lihat ayah senang sekalui ketika aku tidak menolak laki-laki pilihannya. Belakangan baru aku menyadari, aku menemukan arti "cinta" sesungguhnya pada sosoknya. Hal ini aku berani walaupun takut aku ungkapkan pd ibu, tapi celakanya aku bertengkar hebat dengan ayahku, tiap detik rasanya airmata ini tak pernah mengering, aku terima konsekuensi atas kelancanganku padamu ayah. BuKan maksudku menjadi ank durhaka kepadamu, bukan maksudku mempermalukanmu ayah, bukan maksudku untuk tidak hormat padamu ayah, hanya saja baru kali ini aku belajar mencintai seseorang dengan tulus hingga aku berani menantangmu ayah. InsyaAllah, cinta dan sayangku padanya selalu tulus walaupun dia selalu meragukan hatiku. Aku berharap, semoga perjalanan hidup ini tidak berakhir derita bagiku,ayah dan dirinya. Amin...

1 komentar:

 
Dear Diary Blogger Template